Tuesday 12 July 2011

Model Model Pembelajaran Inovatif

Makalah ini menyajikan tiga bagian pokok tentang pembelajaran, yaitu (1)

Pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, (2) Model-Model

Pembelajaran, dan (3) Penutup. Model-model pembelajaran tersebut, adalah

model problem solving dan reasoning, model inquiry training, model problembased

instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, model group

investigation.



1. Pembelajaran menurut Paradigma Konstruktivistik

Sebuah paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi

mengalami malfungsi apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah

mengalami perubahan. Paradigma yang mengalami anomali tersebut cenderung

menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut terjadinya revoluasi ilmiah yang

melahirkan paradigma baru dalam rangka mengatasi krisis yang terjadi (Kuhn, 2002).

Paradigma konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigma alternatif yang

muncul sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang cenderung

berlaku pada abad industri ke sistem pembelajaran yang semestinya berlaku pada abad

pengetahuan sekarang ini.

Menurut paradigma konstruktivistik, ilmu pengetahuan bersifat sementara terkait

dengan perkembangan yang dimediasi baik secara sosial maupun kultural, sehingga

cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi

diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit,

wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun

pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab atas peistiwa belajar dan hasil

belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi

pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar

merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal.

Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian,

pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk

memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.

Paradigma konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut

paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah,

mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur

dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih dicirikan

oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan modelmodel

yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Secara umum, terdapat lima prinsip dasar

yang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu (1) meletakkan permasalahan yang relevan

dengan kebutuhan siswa, (2) menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama, (3)

menghargai pandangan siswa, (4) materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan

siswa, (5) menilai pembelajaran secara kontekstual.

Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa,

investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks),

menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran.

Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu

proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru

disajikan dalam laporan atau quis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik,

pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi,

membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.

Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut

paradigma konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai

dengan pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai

berikut.

1. Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.

2. Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada

keterampilan berpikir kritis.

3. Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis, memprediksi,

dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.

4. Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau strategi

pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.

5. Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum

sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.

Makalah I Wayan Santyasa

6. Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya maupun

dengan siswa yang lain.

7. Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut mereka

untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.

8. Mengelaborasi respon awal siswa.

9. Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan

kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.

10. Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan

mengerjakan tugas-tugas.

11. Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model pembelajaran yang

beragam.

1.1 Tujuan dan Hasil Belajar

Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma desain pembelajaran, tidak

terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang

diharapkan.

Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga

fokus belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar.

Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk

mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari

oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh

sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai

manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang

dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari

konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa.

Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya

bagaimana membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran

perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan

pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu

nilai utama pendekatan konstruktivstik.

Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat

menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang

dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa meaningful learning harus diyakini memiliki

nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rote learning, dan deep understanding lebih

baik dibandingkan senseless memorization. Konsep belajar bermakna sesungguhnya telah

dikenal sejak munculnya psikologi Gestal dengan salah satu pelopornya Wertheimer

(dalam Mayer, 1999). Sebagai tanda pemahaman mendalam adalah kemampuan

mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru.

Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih

penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian

learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam

hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis

keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar

(Santyasa, 2003).

Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut

tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan.

Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut

hendaknya bergeser dari no learning dan rote learning menuju constructivistic learning.

No learning, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. Siswa tidak

menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Rote learning, hanya

mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa

menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan

masalah-masalah baru. Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori.

Constructivist learning dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa

mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan

model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses

kognitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian

terhadap informasi-informasi yang relevan dengan selecting, mengorganisasi infromasiinformasi

tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses organizing, dan

mengintegrasikan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di

benaknya melalui proses integrating. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik menjamin

siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna.

1.2 Peranan Guru dalam Pembelajaran

Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al.,

2001), di abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh guru

dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang

baik tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan

dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki

kemampuan mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama

dengan orang lain. Para guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan

pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi

tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua

pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang

mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru

diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan

kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis.

Para guru diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan

pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki

keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran

yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.

Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami oleh para guru, maka upaya

mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang menantang.

Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang meyakinkan bahwa peranan guru

tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan pandangan

konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagai

transmiter pembelajaran. Guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung

sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing.

Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru dalam

pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator.

Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang

materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah

dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika

siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan

psikomotor siswa.

Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan

masalah-masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan

interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas.

Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai

isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan

pengelompokan siswa.

Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa

memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah,

memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian,

mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana

mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan

kepada siswa ikut berpikir kritis.

Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah menciptakan dan

memahami sintaks pembelajaran. Penciptaan sintaks pembelajaran yang berlandaskan

pemahaman akan mempermudah implementasi pembelajaran oleh guru lain atau oleh

siswa itu sendiri.

Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang dijabarkan

berdasarkan teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivistik acap kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadi

penting untuk menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel, dan dinamis.

1.3 Penggubahan Lingkungan dan Sumber Belajar

Salah satu asas pembelajaran yang harus dipahami adalah “membawa dunia siswa

ke dunia guru dan menghantarkan dunia guru ke dunia siswa”. Tujuannya, adalah untuk

mengenali potensi siswa dan memberdayakan potensi tersebut sehingga melahirkan

pencerahan bagi siswa itu sendiri. Alternatif upaya pemberdayaan tersebut dapat dilakukan

dengan penggubahan lingkungan dan sumber belajar.

Termasuk lingkungan belajar adalah sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan

media masa. Termasuk sumber belajar adalah guru, orang tua, teman dewasa, teman

sebaya, bahan, alat, dan lingkungan itu sendiri. Sumber belajar ada yang dirancang khusus

untuk pembelajaran (by design) dan ada pula yang bukan dirancang khusus untuk

pembelajaran, tetapi dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran (by utilization).

Oleh karena pembelajaran merupakan kegiatan rekayasa supaya terjadi peristiwa

belajar, maka penggubahan lingkungan dan sumber belajar di sini adalah terkait dengan

upaya guru memfasilitasi siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sumber belajar

tersebut. Upaya ini dilakukan baik pembelajaran harus terjadi di dalam kelas atau di luar

kelas. Jika pembelajaran terjadi di kelas, sifat-sifat kelas yang cenderung multidimensi,

keserentakan, kesegeraan, memunculkan kejadian yang tak dapat diramalkan harus

dipahami oleh guru agar terjadi interaksi yang efektif dalam proses pembelajaran.

2. Model Pembelajaran

Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step

procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan

model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam

melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka

konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung

preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional

strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a

learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).

Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model

pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu

langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma

yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana

seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system,

segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5)

instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan

tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant

effects).

Berikut diberikan lima contoh model pembelajaran yang memiliki kecenderungan

berlandaskan paradigma konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving,

model inquiry training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan

konseptual, dan model group investigation.

2.1 Model Reasoning and Problem Solving

Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah

gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan

tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik &

Rudnick, 1996). Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem

solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan

reasoning and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa

ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia

nyata.

Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil

(retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Termasuk

basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical

thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada

masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis

informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya,

menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan

analisis dan refleksi. Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan

produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.

Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang

mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem

solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan

pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka

memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi

aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban

telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat

diwujudkan melalui kemampuan reasoning.

Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah

pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir

(mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting

pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi,

melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menseleksi

strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi,

deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan

keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi

jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi,

mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter

pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi

masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.

Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,

konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut

ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah.

Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang

mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan

strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang

siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving.

Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan

berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi,

keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak

pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan

kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

2.2 Model Inquiry Training

Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif,

manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality

secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan,

prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga—

kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.

Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980),

yaitu: (1) menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi

yang saling bertentangan), (2) menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi

yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah), (3) mengkaji data dan eksperimentasi

(mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis), (4) mengorganisasikan,

merumuskan, dan menjelaskan, dan (5) menganalisis proses penelitian untuk memperoleh

prosedur yang lebih efektif.

Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan

kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan digalakkan.

Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan.

Partisipasi guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat

dalam mengakomodasikan segala ide yang berkembang.

Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan

yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki

pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang

teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan

dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa.

Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang

mampu membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang

menantang siswa untuk melakukan penelitian.

Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan

semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan,

keterampilan proses keilmuan, otonomi siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan

masalah-masalah non rutin.

2.3 Model Problem-Based Instruction

Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan

masalah otentik (Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan

pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka

masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan

menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan

masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.

Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et

al., 2001), yaitu: (1) guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang

berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu,

dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa), (2)

guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu

diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang

variatif, melakukan surve dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna

terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka

memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah,

laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas

melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota

masyarakat).

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa

dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter

pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing

dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses

pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan

ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan

demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah

dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan

dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah

kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated

learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi

keragaman siswa.

2.4 Model Pembelajaran Perubahan Konseptual

Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari

pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan.

Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya

bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik

kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya

semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) merubah

pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.

Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar

terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi

konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993).

Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi

dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan

konseptual (Hynd, et al,. 1994). Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas

individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain

melalui peer mediated instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not

just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared

knowledge.

Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran

(Santyasa, 2004), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi

miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut

strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi

pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh

kontekstual, (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan

penerapan pengetahuan secara bermakna.

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman

belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang

efektif, latihan menjalani learning to be.

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai fasilitator,

negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis

melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan

memberi peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan

konstruksi bertujuan memfasilitasi, menegosiasi, dan mengkonfrontasi siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuan baru.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan

ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan demonstrasi atau

eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau

ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar,

pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak

pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan

paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .

2.5 Model Group Investigation

Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis

terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau

teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education

(Arends, 1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas

seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk

belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob,

et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya

didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4)

kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan

harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati

satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya

berhubungan dengan dunia nyata.

Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation

yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas

hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah

sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam langkah

pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok,

menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan), (2) planning

(menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa

tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi,

mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi), (4) organizing (anggota

kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji,

moderator, dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain

mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan

(6) evaluating (masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing

berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran

yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian

pemahaman.

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru

dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh

kesepakatan.

Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,

konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses

pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait

dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat

dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi

yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut.

Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok

dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan

ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai,

meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang

pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman

yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM

dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial,

interpersonal, dan intrapersonal.

3 Kesimpulan

Perencanaan pembelajaran sangat penting untuk membantu guru dan siswa dalam

mengkreasi, menata, dan mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan peristiwa

belajar terjadi dalam rangka mencapai tujuan belajar.

Model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara

efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah model pembelajaran yang memiliki

landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak

pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar

yang disasar.

Model pembelajaran yang dapat diterapkan pada bidang studi hendaknya dikemas

koheren dengan hakikat pendidikan bidang studi tersebut. Namun, secara filosofis tujuan

pembelajaran adalah untuk memfasilitasi siswa dalam penumbuhan dan pengembangan

kesadaran belajar, sehingga mampu melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam

memecahkan masalah kehidupan di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat

mengakomodasikan tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma

konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.

Model problem solving and reasoning, model inquiry training, model problembased

instruction, model conceptual change instruction, model group investigation, dan

masih banyak lagi model-model yang lain yang berlandaskan paradigma konstruktivistik,

adalah model-model pembelajaran alternatif yang sesuai dengan hakikat pembelajaran

humanis populis.

DAFTAR RUJUKAN

Ardhana, W. 2000. Reformasi pembelajaran menghadapi abad pengetahuan. Makalah.

Disajikan dalam Seminar dan Diskusi Panel Nasional Teknologi Pembelajaran V,

tanggal 7 Oktober 2000, di UM.

Arends, R. I. 1998. Learning to teach. Singapore: Mc Graw-Hill book Company.

Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring teaching: An

introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.

Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for

constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum

Development.

Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston:

Allyn and Bacon.

Costa, A. L.1991. The school as a home for the mind. Palatine, Illinois: Skylight Training

and Publishing, Inc.

Gardner, H. 1999. Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21th century. New

York: Basic Books.

Griffin, P., & Nix, P. 1991. Educational assessment and reporting: A new approach.

Sydney: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.

Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach.

Boston: Allyn and Bacon.

Hynd, C.R., Whorter, J.Y.V., Phares, V.L., & Suttles, C.W. 1994. The rule of instructional

variables in conceptual change in high school physics topics. Journal of Research

In Science Teaching. 31(9). Pp.933-946.

Jacobs, G.M., Lee, G.S, & Ball, J. 1996. Learning Cooperative Learning via Cooperative

Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Edu-cation on Cooperative

Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Center.

Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Kuhn, T. S. 2002. The structure of scientific revolution. Diterjemahkan oleh: Tjun

Surjaman. Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya.

Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996. The new sourcebook for teacing reasoning and problem

solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.

Mayer, R. E. 1999. Designing instruction for constructivist learning. Dalam Reigeluth, C.

M. (Ed.): Instructional-design theories and models: A new paradigm of

instructional theory, volume II. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,

Publisher.

O’Malley, J. M., & Pierce, L. V. 1996. Authentic assessment for english language

learners: Practical approaches for teachers. New York: Addison-Wesley

Publishing Company.

Perkins, D. N., & Unger, C. 1999. Teaching and learning for understanding. Dalam

Reigeluth, C. M. (Ed.): Instructioal-design theories and models: A new paradigm

of instruction theory, Volume II. New Jersey: Lawrence Erlboum Associates,

Publisher.

Puskur. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan hasil belajar mata pelajaran

matematika. Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas.

Reigeluth, C. M. 1999. What is instructional-design theory and how is it changing? Dalam:

Reigeluth, C. M. (Ed.). Instructional-design theories and models: A new paradigm

of instructional theory, volume II. 5-29. New Jersey: Lawrence Erlbaum

Associates, Publisher.

Simon, H. A. 1996. The science of the artificial. Third edition. London: The MIT Press.

Santyasa, I W. 2003. Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi.

Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri

Singaraja, 27 Februari 2003, di Singaraja.

Santyasa, I W. 2003. Pembelajaran fisika berbasis keterampilan berpikir sebagai alternatif

implementasi KBK. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi

Pembelajaran, 22-23 Agustus 2003, Di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.

Santyasa, I W. 2004. Pengaruh model dan seting pembelajaran terhadap remediasi

miskonsepsi, pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika pada siswa SMU.

Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program

Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon.

2 komentar:

TOP 1 Oli sintetik mobil-motor Indonesia said...

wahhhh pop adsnya nongol..iklan dimana2, kok gak diupdate lg?
TOP 1 Oli sintetik mobil-motor Indonesia | Adira Asuransi Kendaraan Terbaik Indonesia | Voucher Hotel Murah di RajaKamar.Com

I Kadek Suartama said...

ya lg sibuk

Post a Comment

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan!

 
I Kadek Suartama: Official Blog. Design by Wpthemedesigner. Converted To Blogger Template By Anshul Tested by Blogger Templates.