Wednesday 13 February 2013

Jadwal Mengajar 2013


Sunday 12 August 2012

Pengembangan Multimedia

Konsep Dasar Multimedia
Oleh: I Kadek Suartama


a.    Berbagai Pemaknaan Multimedia
Kawasan pengembangan dalam teknologi pembelajaran mencakup banyak variasi teknologi yakni teknologi cetak, teknologi audio visual, teknologi berazaskan komputer, dan teknologi terapadu. Multimedia termasuk ke dalam jenis teknologi berazaskan komputer. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Donna Rubinson (1995) menyatakan bahwa:
the term multimedia to mean computer-aided instruction (CAI) or instructional presentation that combines text, graphics, video, and audio, and may include interactivity options. (Interactivity is the ability of the user to determine the sequence of content flow). As an instructional tool, it is infortant to see multimedia as one option in the vast array of instructional technology.

Istilah multimedia dimaknai sebagai pengajaran atau pembelajaran berbantuan komputer (CAI) atau penyajian pembelajaran yang menggabungkan teks, grafis, video, audio, dan interaktif. (Interaktif adalah kemampuan pengguna untuk mengontrol atau menentukan urutan materi pembelajaran yang sesuai dengan keinginan atau kebutuhan pengguna). Sebagai sarana pembelajaran, hal ini sangat berguna atau penting dalam memandang multimedia sebagai salah satu pilihan yang digunakan dalam teknologi pembelajaran.
Selanjutnya, Vaughan (2006: 2) mengatakan bahwa multimedia merupakan kombinasi teks, seni, suara, animasi, dan video yang disampaikan kepada Anda dengan komputer atau peralatan manipulasi elektronik dan digital yang lain. Melalui gabungan media-media ini pengalaman belajar menjadi sesuatu yang interaktif yang mencerminkan suatu pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini dipertegas lagi oleh Munir (2008: 234) yang menyatakan bahwa sajian multimedia dapat diartikan sebagai teknologi yang mengoptimalkan peran komputer sebagai media yang menampilkan teks, suara, grafik, video, animasi dalam sebuah tampilan yang terintegrasi dan interaktif.
Mayer (2009: 3) mendefinisikan multimedia sebagai presentasi materi dengan menggunakan kata-kata sekaligus gambar-gambar. Yang dimaksud dengan kata disini adalah materinya disajikan dengan verbal form atau bentuk verbal, misalnya dengan menggunakan teks kata-kata yang tercetak atau terucapkan. Yang dimaksud dengan gambar adalah materinya disajikan dalam pictorial form atau bentuk gambar. Hal ini bisa dalam bentuk menggunakan grafik statis (termasuk: ilustrasi, grafik, foto, dan peta) atau menggunakan grafik dinamis (termasuk: animasi dan video).
Lebih lanjut, pengertian “multimedia” menurut Hackbarth (1996: 229) yaitu:
Multimedia is suggested as meaning the use of multiple media formats for the presentation of information, including texts, still or animated graphics, movie segments, video, and audio information. Computer-based interactive multimedia includes hypermedia and hypertext. Hypermedia is a computer-based system that allows interactive lingking of multimedia format information including text, still or animated graphics, movie segments, video, and audio. Hypertext is a non-linear organized and accessed screens of text and static diagrams, pictures, and tables.

Multimedia diartikan sebagai penggunaan gabungan beberapa media dalam menyampaikan informasi yang berupa teks, grafis atau animasi grafis, movie, video dan audio. Multiedia interaktif yang berbasis komputer meliputi hypermedia dan hypertext. Hypermedia yaitu suatu penggunaan format presentasi multimedia yang meliputi teks, grafis diam atau animasi, bentuk movie, video dan audio. Hypertext yaitu bentuk teks, diagram statis, gambar dan Tabel yang ditayangkan dan disusun secara tidak linear (urut atau segaris).
Schwier & Misanchuk (1993: 6) menyatakan bahwa:
Interactive multimedia instruction is an instructional program which includes a variety of integrated sources in the instruction with a computer at the hearth of the system. The program is intentionally designed in segment, and viewer responses to structured opportunities (e.g., menus, problems, simulated crises, questions, virtual environments) influence the sequence, size content, and shape of the program.

Multimedia pembelajaran interaktif adalah program pembelajaran yang mencakup berbagai sumber yang terpadu dalam pembelajaran dengan menggunakan komputer sebagai jantungnya sistem. Program ini sengaja dirancang dalam beberapa bagian, dan tanggapan pengguna untuk peluang yang terstruktur (misalnya; menu, masalah, simulasi terbuka, pertanyaan, lingkungan virtual) mempengaruhi urutan, isi ukuran, dan bentuk program.
Phillip (1997: 8) menyatakan “the multimedia component is characterized by the presence of text, pictures, sound, animation, and video; some or all of which are organized into some coherent program”. Multimedia adalah gabungan dari teks, gambar, suara, animasi, dan video; beberapa komponen tersebut atau seluruh komponen tersebut dimasukkan ke dalam program yang koheren. Pengertian ini sejalan dengan Ivers & Barron (2002: 2) yang menyatakan “in general terms, multimedia is the use of several media to present information. Combinations may include text,  graphics, animation, pictures, video, and sound”. Secara umum, multimedia adalah penggunaan beberapa media untuk menyajikan informasi. Kombinasi dapat mencakup teks, grafik, animasi, gambar, video, dan suara. Selanjutnya, M. Suyanto (2005: 21) menyatakan multimedia adalah pemanfaatan komputer untuk membuat dan menggabungkan teks-teks, grafik, audio, gambar bergerak (video dan animasi) dengan menggabungkan link dan tool yang memungkinkan pemakai melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi, dan berkomunikasi.
Dari beberapa pengertian multimedia yang diberikan oleh para ahli di atas, dapat ditegaskan bahwa multimedia merupakan suatu penyajian yang menggabungkan teks, gambar, grafis, animasi, audio dan video, dengan menggunakan komputer serta cara penyampaian interaktif yang memberikan peluang kepada pengguna untuk mengontrol atau menentukan urutan sajian yang sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya.

b.    Jenis-jenis Multimedia Pembelajaran
Banyak ahli multimedia yang membagi jenis multimedia pembelajaran menurut cara pandang mereka. Heinich, et al. (1996: 238-242) membagi multimedia ke dalam jenis drill-and-practise, tutorial, games, simulation, discovery, and problem solving. Lebih lanjut Alessi & Trollip (2001: 10) multimedia pembelajaran interaktif dapat dibagi menjadi delapan jenis yaitu: tutorials, hypermedia, drills, simulations, games, tool and open-ended-learning environment, test, and web-based-learning.
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikatakan terdapat beberapa format multimedia yang dapat digunakan dalam pembelajaran, yaitu tutorial, drill and practise, simulasi, dan games. Di bawah ini merupakan ringkasan pendapat para ahli mengenai jenis multimedia pembelajaran tersebut.
Model tutorial, model ini menyajikan pembelajaran secara interaktif antara siswa dan komputer. Materi belajar diajarkan, dijelaskan dan diberikan penguatan melalui interaksi tersebut. Pada umumnya model tutorial ini digunakan untuk menyajikan informasi yang relatif baru bagi siswa, keterampilan tertentu, informasi atau konsep. Segala sesuatu yang diperlukan untuk mendapatkan informasi tersedia dalam komputer. Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa model tutorial ini dilengkapi dengan pertanyaan pada setiap bagian materi. Ciri-ciri model tutorial ini adalah a) mencakup informasi orientasi pelajaran, arahan selama pelajaran, umpan balik dan remedial yang sesuai, b) dimulai dengan kegiatan yang memusatkan perhatian siswa kepada monitor agar siap dalam belajar, c) selalu ada informasi harapan pembelajaran atas materi yang baru, d) konsep disajikan sedikit demi sedikit dan disediakan dukungan atau petunjuk lain, e) umpan balik diberikan bagi siswa berdasarkan jawaban yang diberikan, f) memakai strategi yang berbeda untuk memperdalam proses pemahaman siswa.
Drill and practice, model ini lebih memberi penekanan pada bagaimana siswa berlatih menguasai materi dengan banyak melakukan latihan atau praktik. Model ini dirancang untuk mencapai keterampilan tertentu, umpan balik yang cepat bagi siswa atas respon yang diberikan, dan biasanya disajikan beberapa bentuk koreksi atau pengulangan atas jawaban yang salah. Ciri-ciri model drill and practice yaitu: a) memberi kesempatan yang luas bagi siswa untuk melatih keterampilan yang diperolehnya, b) tersedia arahan yang jelas untuk memberikan jawaban yang memberi konsekuensi pada umpan balik yang tepat dan pemelajaran korektif serta remedial, c) model ini berasumsi bahwa informasi atau materi dasar sudah diperoleh siswa atau sudah diajarkan, d) bertujuan untuk memperkuat dan memberi penekanan pada jawaban yang benar dan identifikasi serta pembetulan jawaban yang salah, e) jawaban yang diberikan pendek dan cepat, f) fokus terhadap satu atau dua keterampilan saja, g) memiliki tingkat keluwesan yang baik karena kemampuan komputer dalam mengelola suara, warna, anamasi dan sebagainya, h) cepat mendapat dan menyimpan data tentang kemampuan siswa, i) cepat memilih permasalahan atau kekurangan yang muncul dalam belajar.
Simulasi, ini merupakan model pembelajaran yang mampu menekan biaya yang terlalu tinggi, memudahkan pemahaman siswa atas suatu konsep secara ”real time” , atau meniadakan resiko yang muncul sebagai akibat demonstrasi yang dilakukan dlam belajar. Sebagai contoh misalnya pendidikan pilot, sangat tidak mungkin untuk berlatih menerbangkan pesawat sesungguhnya karena memiliki resiko yang tinggi dan biaya yang relatif besar. Ciri-ciri model ini yaitu: a) ada skenario atau rancangan kejadian, pilihan jelas partisipasi siswa, dan konsekuensi yang dicapai atas respon yang diberikan, b) tampilan model ini haruslah high fidelity visual images (gambar berkualitas tinggi), c) tersedia seperangkat situasi yang dapat diyakini, pilihan jawaban yang rasional, konsekuensi logis atas jawaban dan seperangkat situasi hasil interaksi atau respon, d) ada arahan yang jelas yang dibutuhkan siswa, e) ada identifikasi perubahan saat kritis dari skenario, f) tersedia skenario versi modifikasi berdasarkan respon atau jawaban siswa dan menjadi sebuah situasi yang baru, g) ada tiga jawaban yang diberikan siswa yaitu efektif, tidak efektif atau tidak jadi.
Games, model permainan ini bertujuan khusus untuk meningkatkan motivasi siswa. Model Games ini merupakan pendekatan motivasional tinggi bagi siswa untuk memberikan penguatan atas kompetensi yang sudah dipelajari, konsep dan informasi. Format permainan ini harus memberikan penekanan untuk pengembangan, penguatan dan penemuan hal baru bagi siswa dalam belajar. Unsur lain yang muncul dalam penggunaan model permainan ini adalah unsur kompetisi. Kompetisi dibangun baik untuk diri pribadi siswa, antar siswa atau kelompok siswa. Ciri-ciri dari model ini adalah: a) ada penjelasan yang baik tentang petunjuk, tujuan permainan serta prosedur yang harus dilakukan siswa, b) menarik antusiasme siswa, c) ada hubungan sebab akibat antara respon siswa dengan konsekuensi permainan tersebut, d) siswa dapat diberikan ringkasan kemampuan yang dicapainya dalam pembelajaran tersebut, i) memberi hiburan bagi siswa.
Dari beberapa format multimedia tersebut di atas, dalam penelitian ini digunakan model tutorial, karena dalam format pembelajaran tutorial, komputer berperan layaknya seorang dosen sehingga interaksi belajar terjadi antara komputer dan mahasiswa. Bentuk tutorial merupakan program yang menyajikan informasi/materi secara utuh kepada mahasiswa melalui konsep belajar tuntas dan program pembelajaran bentuk ini memuat penjelasan, rumus, prinsip, bagan, Tabel, definisi istilah, latihan, dan branching yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa.

c.    Peranan Multimedia dalam Pembelajaran
Latuheru (Winarno, 2009: 8) menyatakan bahwa dalam pembelajaran, peranan multimedia menjadi semakin penting di masa kini, karena media-media tersebut dirancang untuk saling melengkapi sehingga seluruh sistem menjadi berdaya guna dan tepat guna, dimana suatu kesatuan menjadi lebih baik daripada jumlah bagian-bagiannya (the whole is greter than the sum of it parts). Penggunaan multimedia berbasis komputer dapat diterima dalam pelatihan dan pembelajaran atas dasar mempertinggi proses belajar mandiri serta peran aktif dari pebelajar. Sistem multimedia berbasis komputer juga memberikan rangsangan bagi proses pelatihan dan pembelajaran yang berlangsung di luar ruang kelas.
Multimedia dalam pembelajaran dapat memberikan jawaban atas suatu bentuk pembelajaran yang menggunakan pendekatan secara tradisional dimana pendekatan tersebut cenderung teacher centered dan kurang interaktif. Vaughan, (2006: 6) menegaskan bahwa dengan multimedia akan sesuai kapanpun antarmuka manusia mengoneksikan pengguna manusia pada informasi elektronik dalam berbagai jenis. Multimedia meningkatkan antarmuka komputer text-only minimalis dan menghasilkan keuntungan yang memuaskan dengan mencari dan menarik perhatian dan ketertarikan; multimedia memperkuat ingatan terhadap informasi. Selanjutnya, menurut Ariesto Hadi Sutopo (2003: 23) komputer multimedia dapat menghasilkan suatu pembelajaran yang efektif, bila macam-macam komponen (teks, chart, audio, video, animasi, simulasi, atau foto) digabungkan secara interaktif.
Multimedia pembelajaran berbasis komputer memanfaatkan fleksibelitas komputer untuk memecahkan masalah-masalah belajar. Sebagaimana kebanyakan sistem mengajar, komputer dapat digunakan sebagai alat mengajar utama untuk memberi penguatan belajar awal, merangsang dan memotivasi belajar, atau untuk berbagai jenis kemungkinan lainnya. Banyak manfaat yang diperoleh dari fleksibelitas komputer ini karena dapat memasukan video, audio, elemen-elemen grafis, bentuk-bentuk, proses, peran dan tanggung jawab lainnya (Lee & Owens, 2004: 181).
Multimedia memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media lain. Munir (2008: 235) memaparkan keistimewaan multimedia antara lain: 1) multimedia menyediakan proses interaktif dan memberikan kemudahan umpan balik; 2) multimedia memberikan kebebasan kepada pelajar dalam menentukan topik proses pembelajaran; 3) multimedia memberikan kemudahan kontrol yang sistematis dalam proses pembelajaran.
Selain itu, penggunaan multimedia berbasis komputer dapat membuat pebelajar lebih mengingat materi yang dipelajari. Hal ini sesuai dengan hasil riset dari Computer Technology Research seperti yang diungkapkan oleh Winarno, dkk (2009: 10) bahwa “seseorang hanya dapat mengingat apa yang dia lihat sebesar 20%, dan apa yang dia dengar sebesar 30%, apa yang dia lihat dan dengar sebesar 50%, dan sebesar 80% dari apa yang dial lihat, dengar dan kerjakan secara simultan. Pencapaian 80% tersebut sangat dimungkinkan dapat dicapai dengan menggunakan multimedia berbasis komputer yang interaktif. Multimedia membiarkan pebelajar mengarahkan, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan komputer. Ketika pebelajar mengontrol semua media yang ada di dalamnya, pada saat itu sebenarnya dinamakan multimedia yang interaktif. Jadi, dengan penggunaan multimedia berbasis komputer yang interaktif, siswa tidak hanya melihat dan mendengar, tetapi juga mengerjakan perintah-perintah di dalamnya secara simultan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pada intinya dapat digaris bawahi bahwa multimedia berbasis komputer dalam pembelajaran memberikan nuansa baru untuk membuat pembelajaran menjadi lebih interaktif, efektif, efisien dan menarik. Pembelajaran dengan multimedia berbasis komputer juga dapat digunakan untuk pembelajaran mandiri maupun kelompok tergantung permasalahan yang harus dipecahkan.

d.    Prinsip-Prinsip Multimedia Pembelajaran
Beberapa ahli mengemukakan beberapa prinsip multimedia yang sebagian sama dengan prinsip-prinsip yang dikemukankan oleh ahli lain. Mayer (Mitchel, 2003) mengemukakan enam prinsip desain multimedia yang didasarkan pada hasil penelitiannya. Prinsip tersebut adalah (1) integration, (2) parsimony, (3) narration, (4) individual differences, (5) perzonalization, (6) interactivity. Empat komponen penting multimedia menurut M. Suyanto (2005: 21) adalah pertama, adanya komputer untuk mengkoordinasikan apa yang dilihat dan didengar untuk berinteraksi, jika tidak ada maka namanya bukan multimedia namun media campuran. Kedua, multimedia harus menyediakan link yang menghubungkan kita dengan informasi dan jika tidak ada link maka namanya rak buku, bukan multimedia. Ketiga, harus ada alat navigasi yang memandu kita, menjelajah jaringan informasi yang saling terhubung, jika tidak ada navigasi maka namanya film, bukan multimedia. Keempat, multimedia menyediakan tempat untuk mengumpulkan, memproses, dan mengkomunikasikan informasi dan ide sendiri, jika tidak ada maka namanya televisi bukan multimedia.
Ariesto (2003: 7) menjelaskan media presentasi pada umumnya tidak dilengkapi alat untuk mengontrol user. Presentasi berjalan sekuensial sebagai garis lurus sehingga disebut multimedia linear, contohnya televisi dan film. Presentasi linear sesuai digunakan jika jumlah audiens lebih dari satu orang.  Tetapi bila menggunakan satu komputer untuk satu orang, dan diperlukan kontrol dengan keyboard, mouse, dan alat input lainnya maka disebut interaktif, dan multimedia yang dapat menangani interaktif user disebut interactive multimedia (multimedia interaktif) atau disebut juga non-linear multimedia.
Program pembelajaran multimedia interaktif dipilih dan dimanfaatkan dalam proses pembelajaran adalah sebuah putusan yang tepat. Proses pemilihan harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu. Thorn (Ouda, 2006) mengutarakan enam kriteria yang dipergunakan untuk menilai multimedia interaktif yaitu, sebuah program harus dirancang sesederhana mungkin, memiliki kandungan kognisi, pengetahuan dan presentasi informasi dapat memenuhi kebutuhan pebelajar, integrasi media di mana media harus mengintegrasikan aspek dan keterampilan yang harus dipelajari, penampilan/estetika, dan berfungsi secara keseluruhan. Sehingga apabila pebelajar selesai menjalankan program tersebut akan merasa telah belajar sesuatu. Lebih lanjut Alessi & Trollip (2001: 7) mengungkapkan bahwa program komputer pembelajaran yang baik haruslah meliputi empat aktivitas yakni: (1) informasi/pesan harus disajikan secara menarik, (2) mahasiswa harus diarahkan,  (3) mahasiswa diberi latihan-latihan, (4) pencapaian hasil belajar mahasiswa harus dinilai. Keempat aspek tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan program multimedia pembelajaran. Selain itu, dalam program hendaknya diawali dengan pendahuluan dengan menyampaikan tujuan yang hendak dicapai, petunjuk pemakaian yang jelas, bahkan kalau perlu diberi contoh atau demonstrasi serta tugas-tugas berikutnya.

e.    Kriteria Kualitas Multimedia Pembelajaran
Ada beberapa pendapat yang memaparkan tentang kriteria kualitas multimedia yang dihasilkan sebelum digunakan para pengguna. Pendapat yang pertama diungkapkan oleh Merrill, et al. (1996: 109) yang menggolongkan kriteria kualitas software multimedia menjadi dua, yaitu: (1) kriteria pembelajaran, dan (2) kriteria presentasi.  Kriteria pembelajaran mengacu pada aspek pedagogik, tehnik mengajar atau strategi pembelajaran. Secara lengkap, Merrill, et al. mengatakan : “Instructional criteria refers to the pedagogical aspect, teaching techniques, or instructional strategies that should be incorporated into an educational computer program”. Sedangkan kriteria presentasi mengacu pada empat kategori utama, yaitu: (1) format tampilan, (2) navigasi, (3) kemudahan untuk digunakan, (4) interaksi.
Pendapat kedua dipaparkan oleh Newby, et al. (2000: 116-117) yang mengatakan bahwa untuk mengetahui kualitas multimedia harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu:
1)    Method, yaitu tehnik dan prosedur yang digunakan dalam pembelajaran (kerjasama, game, presentasi, atau diskusi).
2)    Media, yaitu media yang digunakan dalam pembelajaran untuk menarik minat siswa (multimedia, video, teks, gambar, dan animasi).
3)    Material, yaitu isi pembelajaran yang meliputi: motivasi, orientasi, informasi, aplikasi, dan evaluasi.
Pendapat yang ketiga dipaparkan oleh Chee & Wong (2003: 136-140), yang mengatakan bahwa untuk mengetahui kualitas multimedia dapat ditinjau dari tiga hal, yaitu:
1)    Appropriateness
Materinya harus sesuai dengan karakteristik siswa, sekolah, dan kurikulum setempat.
2)    Accuracy, Currency, and Clarity
Materinya akurat, up-to-date, jelas dalam menjelaskan konsep, valid dan tidak membias dan sesuai dengan tingkat kesulitan siswa.
3)    Screen presentation and Design
a)    Text
Jenis huruf, besar huruf, dan spasi tulisan disesuaikan dengan layar yang ada, sehingga mudah dibaca oleh siswa,
b)    Graphics
Penggunaan gambar, diagram, foto, dan grafik harus mendukung proses pembelajaran, sederhana, tanpa membiaskan konsep, dapat memotivasi siswa, dan berhubungan dengan materi yang disampaikan.
c)    Color
Penggunaan komposisi, kombinasi dan resolusi warna yang tepat dan serasi dapat menarik perhatian siswa pada informasi penting yang ingin disampaikan sehingga membuat pembelajaran menjadi menyenangkan.
d)    Animation
Penggunaan animasi yang tepat dapat memberikan ilustrasi proses terjadinya sesuatu dengan tepat yang tidak dapat dilakukan dengan pembelajaran tradisional. Penggunaan animasi juga dapat memotivasi siswa untuk tertarik mempelajari materi yang disampaikan.
e)    Audio
Dukungan musik dapat membawa siswa kepada nuansa pembelajaran yang menyenangkan. Dukungan suara narasi juga akan memperjelas konsep dan aplikasinya.
f)    Video clip
Video dapat memberikan ilustrasi konsep dalam kehidupan nyata dan dapat memberikan contoh langsung penggunaan atau apikasi dari suatu ilmu yang dipelajari. Video juga dapat menjelaskan suatu konsep yang sulit dijelaskan dengan media biasa.

Pendapat yang keempat disampaikan oleh Walker & Hess (Azhar Arsyad, 2009: 175-176), yang mengatakan bahwa untuk mengetahui kualitas multimedia dalam pembelajaran harus melihat kriteria sebagai berikut:
1)    Kualitas isi dan tujuan, yang meliputi: ketepatan, kepentingan, kelengkapan, keseimbangan, daya tarik, kewajaran, dan kesesuaian dengan situasi siswa.
2)    Kualitas instruksional yang meliputi:  memberikan kesempatan belajar, memberikan bantuan untuk belajar, kualitas memotivasi, fleksibilitas instruksionalnya, hubungan dengan program pengajaran lainnya, kualitas tes dan penilaiannya, dapat memberikan dampak bagi siswa, dapat memberikan dampak bagi guru dan pembelajarannya.
3)    Kualitas teknis, yang meliputi: keterbacaan, kemudahan menggunakan, kualitas tampilan/tayangan, kualitas penanganan respon siswa, kualitas pengelolaan programnya, dan kualitas pendokumentasianya.
Dari beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kriteria tentang kualitas multimedia dalam pelatihan atau pembelajaran, minimal dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu; aspek pembelajaran, aspek materi, dan aspek media. Ketiga aspek tersebut dalam suatu proses pelatihan atau pembelajaran dengan mengunakan multimedia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena merupakan satu kesatuan yang mendukung.
Gambaran yang lebih luas mengenai masing-masing aspek (pembelajaran, materi, dan media) dalam mengukur kriteria kualitas multimedia di atas, dipaparkan beberapa pendapat sebagai berikut:
1)    Aspek pembelajaran
Menurut Reiser & Dick (1996: 48-51) untuk mengetahui kriteria kualitas multimedia dalam pelatihan atau pembelajaran, ditinjau dari aspek pembelajaran, harus mempertimbangkan  enam hal pokok, yaitu: (1) dapat memotivasi siswa; (2) menginformasikan tujuan pembelajaran; (3) membantu mengingat kemampuan dan pengetahuan sebelumnya; (4) menyajikan materi dan contoh-contohnya; (5) memberikan latihan dan umpan balik; dan (6) memberikan rangkuman materi.
Sedangkan menurut Aronson & Briggs (Reigeluth, 1983: 91-92), aspek pembelajaran yang baik untuk mengetahui kriteria kualitas multimedia, meliputi: (1) memberikan penarik perhatian; (2) menginformasikan tujuan umum & khusus; (3) perangsang kemampuan sebelumnya; (4) penyampaian materi yang menarik; (5) memberikan petunjuk belajar; (6) memberikan kesempatan siswa untuk melatih sendiri; (7) memberikan feedback; (8) memberikan tes; (9) memberikan penguatan.
Pendapat lain disampaikan oleh Azhar Arsyad (2009: 72-75), yang berpendapat bahwa ada sebelas hal penting yang diperhatikan dalam menentukan kriteria kualitas mutimedia dari aspek pembelajaran, yaitu: (1) pemberian motivasi; (2) memperhatikan perbedaan kemampuan individu; (3) memberikan tujuan pembelajaran; (4) pengorganisasian materi dan prosedur yang baik; (5) siswa memiliki kemampuan yang dibutuhkan sebelumnya; (6) melibatkan emosi dan perasaan; (7) memberikan partisipasi siswa; (8) memberikan umpan balik; (9) memberikan penguatan; (10) memberikan latihan; dan (11) membantu dalam penerapan dalam kehidupan.
2)    Aspek materi
Untuk mengetahui kriteria kualitas multimedia dalam pelatihan atau pembelajaran ditinjau dari aspek materi, menurut Romiszowki (1986: 406-407) sebaiknya mempertimbangkan unsur-unsur yang terkait, yaitu: (1) materi sudah divalidasi oleh seorang subject-matter expert, sehingga kebenaran konsepnya dapat dipertanggung jawabkan; (2) isi materi dan strateginya sesuai dengan lesson plan yang sudah dibuat; (3) materinya benar-benar memberikan kontribusi kepada penggunanya; (4) didukung media yang tepat; (5) memberikan konsep yang dapat dilogika secara jelas; (6) contoh dan latihan yang diberikan memperjelas konsep; (7) penggunaan bahasa yang tepat dan konsisten; (8) tingkat kesulitan materi dan soal disesuaikan dengan pengguna.
Sedangkan menurut Hackbarth (1996: 85), aspek materi untuk mengetahui kriteria multimedia yang berkualitas, meliputi enam hal, yaitu: (1) materinya sesuai dengan tujuan pembelajaran; (2) materinya sesuai dengan pengguna; (3) materinya up-to-date; (4) materinya cukup mendalam; (5) materinya cocok untuk semua jenis kelamin, ras, dan agama; dan (6) memberikan sumber lain untuk referensi.
Pendapat lain disampaikan oleh Heinich et al. (1996: 47), bahwa dari aspek materi untuk mengetahui kriteria kualitas multimedia meliputi sembilan hal, yaitu; (1) materinya sesuai dengan kurikulum; (2) materinya akurat dan baru; (3) menggunakan bahasa yang ringkas dan jelas; (4) membangkitkan motivasi siswa; (5) mengajak partisipasi siswa; (6) memiliki kualitas teknik yang baik; (7) teruji keefektifannya; (8) bebas dari pembiasan; dan (9) memberikan petunjuk penggunaan atau sumber lain yang dilampirkan.
3)    Aspek Media
Untuk mengetahui kriteria kualitas multimedia dalam pelatihan atau pembelajaran ditinjau dari aspek media, menurut Cennamo & Kalk (2005: 111) sebaiknya memasukkan beberapa unsur di dalamnya, yaitu: (1) two-dimentional images (2-D) (gambar dua dimensi untuk melihat sesuatu seperti apa adanya); (2) photograph (foto untuk memberikan ilustrasi suatu contoh, pendetailan, perbandingan, dan sumber-sumer sejarah); (3) ilustration (ilustrasi untuk menampilkan objek secara jelas dan memberikan karakter di dalamnya); (4) diagram (diagram memberikan ilustrasi proses, hubungan, urutan, dan kategori); (5) moving images (gambar untuk memberikan ilustrasi urutan waktu dan cara pandang yang berbeda); (6) video (video memberikan ilustrasi yang nyata, urutan waktu dan urutan peristiwa); (7) animation (animasi menggambarkan urutan proses atau peristiwa); (8) 3-D animation ( animasi tiga dimensi memberikn ilustrasi cara kerja di dalam suatu benda, menampilkan yang tidak dapat dilihat dlam dunia nyata, dan memberikan karakter); (9) narration (narasi memberikan penjelasan dan arahan); (10) sound effect (efek suara mendukung penekanan, ketepatan, dan arahan); (11) other sound (suara lain mendukung materi-materi tertentu, seperti suara pelepasan roket); (12) music (musik mendukung emos dan keseimbangan).
Menurut Newby et al. (2000: 108), aspek media untuk mengetahui kriteria kualitas multimedia, sebaiknya memiliki sembilan hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: (1) melibatkan partisipasi siswa dengan penggunaan beberapa media yang ada; (2) memberikan kebebasan terhadap gaya belajar siswa, misalnya; yang kurang jelas membaca dapat mendengarkan narasinya; (3) dapat melatih hampir semua domain pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotor); (4) memberikan contoh yang realistis dengan tampilan video yang diberikan; (5) dapat membangkitkan motivasi dengan penggunaan komposisi warna, grafis, suara, musik, animasi, dan video yang tepat; (6) lebih interaktif dengan penggunaan tombol-tombol yang disediakan dan memberikan respon pada siswa; (7) mengarahkan ke pembelajaran individu dengan memberikan kebebasan siswa untuk belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya; (8) konsistensi penampilan; dan (9) dapat dikntrol siswa sesuai dengan kecepatan berpikirnya.
Dari teori-teori yang dipaparkan di atas, untuk mengetahui komponen-komponen kriteria kualitas multimedia yang baik dari aspek pembelajaran, materi, dan media, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1)    Aspek Pembelajaan
a)    Kejelasan tujuan umum pembelajaran.
b)    Kejelasan tujuan khusus pembelajaran.
c)    Kejelasan sasaran program.
d)    Konsistensi antara tujuan, materi dan evaluasi.
e)    Penyampaian materinya memberikan langkah-langkah yang logis dan alur navigasi yang bebas.
f)    Penyampaian materinya mengikuti desain pembelajaran yang efektif dan prinsip-prinsip pembelajaran.
g)    Kegiatan pembelajarannya dapat memotivasi siswa.
h)    Diberikan latihan untuk pemahaman konsep.
i)    Diberikan evaluasi untuk mengukur kemampuan siswa.
j)    Memberikan umpan balik hasil evaluasi.
k)    Membantu mengingat kemampuan dan pengetahuan sebelumnya.
l)    Memberikan contoh-contoh dalam penyajiannya.
m)    Memberikan penarik perhatian.
n)    Penyampaian materi yang menarik.
o)    Memberikan petunjuk belajar.
p)    Memberikan kesempatan siswa untuk melatih sendiri.
q)    Memberikan penguatan.
r)    Pembelajarannya memperhatikan perbedaan individu.
s)    Melibatkan emosi dan perasaan.
t)    Membantu penerapan materi dalam kehidupan.
2)    Aspek Materi
a)    Kebenaran materi.
b)    Ketepatan materi.
c)    Pentingnya materi.
d)    Kedalaman materi.
e)    Keseimbangan materi.
f)    Kewajaran materi.
g)    Kecakupan materi.
h)    Kemenarikan materi.
i)    Kesesuaian materi dengan situasi siswa.
j)    Materinya mudah dipahami.
k)    Materinya up-to-date.
l)    Kejelasan target hasil belajar.
m)    Tujuan pembelajarannya mudah dipahami.
n)    Materinya didukung media yang tepat.
o)    Konsep yang diberikan dapat dilogika dengan jelas.
p)    Penggunaan bahasa yang tepat dan konsisten.
q)    Materinya dapat digunakan semua jenis kelamin, ras, dan agama.
r)    Materinya merepresentasikan kehidupan nyata.
s)    Materinya bermanfaat bagi siswa dalam kehidupan nyata.
t)    Tingkat kesulitan materi.
u)    Tingkat kesulitan soal.
v)    Memberikan sumber lain untuk belajar.
3)    Aspek Media
a)    Kemudahan menggunakan media.
b)    Kualitas tampilan.
c)    Keterbacaan.
d)    Kualitas penanganan respon siswa.
e)    Kualitas pengelolaan program.
f)    Kualitas pendokumentasian.
g)    Penggunaan transisi layar.
h)    Navigasi yang memberikan siswa dalam menggunakannya.
i)    Konsistensi tombol.
j)    Konsistensi dengan tema.
k)    Media yang digunakan dapat memonitor kegiatan siswa.
l)    Media yang digunakan dapat merespon kegiatan siswa.
m)    Diberikan petunjuk penggunaan.
n)    Media yang digunakan dapat membantu pemahaman materi.
o)    Media yang digunakan dapat membangkitkan motivasi siswa.
p)    Penggunaan jenis huruf, ukuran huruf, dan spasi tulisan yang tepat.
q)    Penggunaan gambar, diagram, foto dan grafik yang mendukung pembelajaran.
r)    Komposisi dan kombinasi warna yang tepat dan serasi.
s)    Penggunaan animasi yang tepat.
t)    Dukungan musik yang sesuai.
u)    Penggunaan sound effect yang tepat.
v)    Penggunaan narasi yang sesuai.
w)    Penggunaan video yang mendukung pemahaman materi.
x)    Tampilan layar (screen design) serasi dan seimbang.
y)    Antisipasi kemungkinan respon siswa.
z)    Respon terhadap respon siswa.
aa)    Dapat dikontrol siswa sesuai dengan kecepatan berpikirnya.
bb)    Jumlah tampilan sesuai dengan waktu yang digunakan.

f.    Desain Multimedia Pembelajaran
Keberhasilan penggunaan media, tidak terlepas dari bagaimana media itu direncanakan dengan baik. Media yang dapat mengubah perilaku mahasiswa (behaviour change) dan meningkatkan hasil belajar tertentu, tidak dapat berlangsung secara spontanitas, namun diperlukan analisis yang komprehensif dengan memperhatikan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Perencanaan atau desain dalam pengembangan multimedia pembelajaran merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Menarik tidaknya suatu produk yang dihasilkan dapat dilihat dari desain produk yang dibuat. Desain mulmedia pembelajaran adalah membuat spesifikasi secara rinci mengenai arsitektur, gaya, dan kebutuhan materi untuk suatu produk media pembelajaran. Spesifikasi dibuat hendaknya cukup rinci sehingga pada tahap berikutnya, yaitu pada tahap material collecting dan assembly tidak diperlukan keputusan baru tetapi menggunakan apa yang sudah ditentukan pada tahap desain. Tahap desain merupakan hal yang sangat penting sebelum melakukan proses produksi. Proses produksi baru dilakukan apabila desain antar muka (interface design) dan seluruh aspek isi telah selesai.
Menurut Philips & DiGiorgio (Philips, 1997: 59 – 104) terdapat tiga macam desain multimedia interaktif sebagai berikut:
1)    Desain dokumentasi
Tahap desain dokumentasi meliputi requirements specification (spesifikasi yang dibutuhkan) dan storyboard (alur cerita). Sebuah rancangan (design) sebelum diolah menjadi sebuah produk terlebih dahulu dicatat dalam bentuk requirements spesification dan storyboard. Requirements specification mendefinisikan secara jelas fungsi dan scope proyek dan memberi pemahaman yang jelas tentang struktur termasuk content (isi). Storyboard mendefinisikan hal-hal yang dibutuhkan dalam setiap screen (layar).
2)    Desain navigasi
Ada beberapa skema navigasi dalam multimedia interaktif, yaitu: a) linier, keuntungannya yaitu informasi dapat disajikan bagian demi bagian, kekurangannya, yaitu pengguna tidak dapat dengan mudah kembali kepada informasi sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.



Gambar 4
Struktur informasi linier

b)    hirarki, kentungan struktur ini yaitu pengguna relatif mudah untuk kembali ke bagian informasi tertentu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.








Gambar 5
Struktur navigasi hirarki

c)    hirarki campuran, keuntungan struktur ini adalah pengguna dengan mudah mengakses informasi. Salah satu kekurangannya adalah hirarkinnya terlalu banyak tingkatan sehingga sulit bagi pengguna mengetahui pada level mana dia saat ini. Model ini dapat dilihat pada Gambar 6.







Gambar 6
Struktur navigasi hirarki campuran

d)    konsentris, struktur navigasi ini agak berbeda. Pengetahuan dasar dapat mengandung sejumlah topik, informasi dapat dipisah kedalam definisi tertentu, kategori umum. Contoh struktur ini dapat dilihat pada Gambar 7.














Gambar 7
Struktur navigasi konsentris

e) hipermedia, struktur ini memfasilitasi pendekatan konstruktivistik. Salah satu keuntungan struktur ini adalah memungkinkan siswa membangun pengetahuan sesuai cara mereka. Ada dua macam struktur navigasi ini, yaitu terstruktur dan tidak terstruktur yang dapat dilihat pada Gambar 8.

















Gambar8
Navigasi hipermedia yang terstruktur









Gambar 9
Navigasi hipermedia yang tidak terstruktur

f) struktur eksplisit, menu pada struktur ini mengarahkan pada rangkaian layar linier yang umumnya diakses melalui tombol navigasi: berikut, sebelumnya, lanjut, lagi, kembali, dan sebagainya. Tombol juga dapat menggunakan icon atau anak panah. Ada juga tombol-tombol yang disebut menu utama, materi, menu sebelum, dan juga gambar. g) struktur implisit, dalam struktur ini salah satu kemungkinan yaitu menggunakan bagian dari materi menjadi tombol navigasi atau menggunakan hotword.
3)    Desain grafis
Desain grafis merupakan hal yang sangat penting agar multimedia pembelajaran menjadi efektif. Desain grafis terdiri dari:
a)    Desain layar
Desain grafis atau desain layar menjadi komunikasi visual untuk menyampaikan pesan secara interaktif. Perancang (designers) dapat melakukan cara-cara atau mengkonstruksi komunikasi visual dengan cara masing-masing. Ada beberapa aspek desain layar yaitu:
(1)    The brief. Ini merupakan deskripsi singkat tentang pokok masalah atau konsep. Setiap image yang ditampilkan harus memiliki arti, demikian juga setiap jenis huruf, warna, garis, spasi, bentuk, skala, keseimbangan dan tekstur. Semua hal tersebut dikombinasikan untuk menciptakan suatu bahasa visual yang mengkomunikasikan konsep kepada pengguna; (2) Layout. Setelah suatu konsep ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah menentukan layout yang akan mengkomunikasikan maksud atau tujuan pada setiap layar. Dalam merencanakan suatu layout, desain dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan kecenderungan, misalnya kebiasaan membaca dari bagian kiri atas, menjadi elemen yang dominan. Warna juga menjadi pertimbangan karena memiliki efek yang sama, mata pertama-tama akan tertuju pada warna yang paling gelap. Penekanan juga dapat dilakukan dengan menempatkan penekanan pada bagian lain dari layar. Pada Gambar 10  disajikan model layout standar tampilan layar.












Gambar 10
Layout standar tampilan layar

(3) Direction. Petunjuk suatu layout sangat penting karena menjadi penentu efektifnya suatu desain grafis. Elemen-elemennya harus seimbang sehingga mata pertama-tama tertuju pada elemen yang paling penting kemudian baru ke elemen logis berikutnya; (4) Format. Format layar harus konsisten pada seluruh tampilan. Walaupun demikian, ada saatnya perubahan format lebih efektif, seperti saat memerlukan simulasi atau animasi yang digunakan untuk mengilustrasikan tujuan. Namun jangan melakukan perubahan yang terlalu banyak karena dapat menimbulkan kebingungan; (5) Grafics. Gambar-gambar interpretatif, diagram dan animasi merupakan jenis-jenis grafis yang berbeda. Dalam memilih grafis perlu memperhatikan fungsinya sebagai komunikasi visual tidak hanya karena kelihatan bagus. Pilihlah gambar yang sesuai dengan pokok persoalan, hindari penggunaan clipart ke dalam desain.
b)    Elemen-elemen desain
Garis, bentuk, tekstur, keseimbangan, ruang, warna dan teks semuanya memiliki peranan penting sebagai bagian dalam menciptakan pesan visual. Elemen-elemen tersebut penting digunakan dalam kaitannya dengan pokok persoalan. Elemen-elemen tersebut yaitu: (1) garis, meskipun sederhana, garis sangat penting dalam tampilan layout. Penggunaan garis yang baik akan mengarahkan mata pada seluruh bagian layar; (2) bentuk, sama dengan warna, bentuk memiliki hubungan estetis satu dengan yang lainnya. Ada tiga bentuk dasar dalam desain, yaitu bujursangkar, segitiga, dan lingkaran; (3) tekstur, tekstur juga merupakan hal yang penting. Prinsip mengerjakan tekstur sama dengan mengerjakan grafis dan layout layar. Terlalu banyak tekstur kasar dapat menyebabkan kebingungan tetapi layar tanpa tekstur terlalu tajam bagi mata. Untuk itu penggunaan tekstur harus secukupnya; (4) keseimbangan, sebuah layar yang lengkap memiliki keseimbangan elemen. Karakteristik elemen perlu dipertimbangkan saat mendesain. Elemen berwarna gelap akan lebih terlihat dari pada elemen berwarna lembut, sementara itu objek yang besar akan lebih dahulu terlihat dari pada objek yang lebih kecil; (5) ruang, dalam sebuah ruangan terdapat ruang positif dan ruang negatif. Ruang tersebut memiliki peran yang sama penting dan memberikan pandangan terhadap suatu objek sehingga diharapkan memberikan pandangan yang lebih baik bagi yang melihat; (6) warna, dalam suatu desain warna dapat memberi efek yang besar. Warna dapat dikaitkan dengan topik dan warna juga mempengaruhi aspek psikologis. Warna yang terang memberi kesan psikologis yang hangat, berenergi. Warna-warna lembut seperti hijau, biru dan kelabu biasanya bagus digunakan untuk mengungkapkan perasaan teduh. Kesesuaian antar penggunaan warna dapat dilihat pada Tabel 1.












Tabel 1
Kesesuaian penggunaan warna
Latar belakang     Warna yang disarankan     Warna yang dihindari
Biru tua
    kuning, oranye pucat, putih, biru lembut    oranye terang, merah, hitam
Hijau     merah muda, putih     oranye terang, merah, hitam
Kuning pucat
    warna sedang hingga biru tua, sedang hingga ungu tua, hitam
    putih, warna-warna terang, warna-warna yang relatif memiliki bayangan terang
Hijau pucat
    hitam, hijau tua
    merah, kuning, putih, warna-warna yang relatif memiliki bayangn terang
Putih
    hitam, hingga warna- warna yang tidak terlalu gelap    warna-warna terang khususnya kuning
(Sumber: Philips, 1997: 85)

Sedangkan warna-warna yang berasosiasi dengan emosi dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2
Warna-warna yang berasosiasi dengan emosi
Warna     Asosiasi
Merah muda     kedekatan, kelembutan feminim
Merah     cinta, kekuatan, kejantanan
Ungu     melankolis, kemarahan
Violet/lembayung     mistik, meditasi, kecemburuan, rahasia
Lila     nostalgia, mimpi, fantasi
Hijau     harapan, kelembutan, kesegaran, muda
Kuning     humor, terbuka, optimis
Oranye     dinamis, kekuatan, stimulasi (rangsangan)
Hitam
    kematian, putus asa, pemberontakan, kerumitan,
kecanggihan
Putih
    kehidupan, keberhasilan, kesucian hati, keadaan tidak
berdosa
Abu-abu     takut, ketenangan, persamaan, keraguan
Coklat     kejujuran, alami, kepadatan
Biru     kedalaman, kedewasaan, kerohanian

(Sumber: Philips, 1997: 85 - 86)

(7) teks. Teks dibedakan kedalam dua bagian yaitu body text dan title text. Body text berisi informasi tentang materi atau topik yang sedang dibahas. Huruf yang digunakan harus kecil dan mudah dibaca. Huruf Serif biasanya lebih mudah dibaca daripada Sans Serif, contoh huruf serif adalah Times New Roman dan Garamond. Adapun contoh Sans Serif adalah Avant Grade.
Lebih jauh, Heinich (1996: 76), mengungkapkan beberapa elemen yang menjadi bagian dari desain visual, yang jika digambarkan memiliki hubungan seperti tersaji pada Gambar 11.












Gambar 11
Bagan Elemen Tampilan Visual

Menurut Heinich (1996: 73 – 74) menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang desain visual, yaitu: 1) kejelasan tampilan visual, 2) energi yang diperlukan untuk menginterprestasikan pesan, 3) keterlibatan keaktifan siswa dalam belajar, dan 4) fokus perhatian pada bagian penting dari pesan.
Sedangkan menurut Angela & Cheung (Chee & Wong, 2003: 120 –131) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam desain multimedia, antara lain:
1)    Pemilihan jenis huruf.
Jenis huruf yang sebaiknya digunakan adalah jenis huruf sans serif seperti Times New Roman dan Arial. Untuk warna huruf sebaiknya kontras dengan latar belakang, hal ini membuat lebih mudah dilihat dan dibaca. Dan ukuran huruf minimum 24 points dan sebaiknya tidak lebih kecil dari ukuran 12 points.
2)    Penggunaan animasi dan video.
Penggunaan animasi dan video dalam pembelajaran berbasis komputer dapat membantu siswa dalam belajar. Keuntungan menggunakan animasi, antara lain: a) dapat menggambarkan yang biasanya tidak kelihatan, misalnya: pergerakan atom, b) penggunaan animasi-animasi sederhana untuk menggambarkan simulasi lebih baik daripada menggunakan video clip, dan c) animasi memerlukan ruang memori yang lebih kecil daripada video clip. Keuntungan menggunakan video adalah dapat menunjukkan situasi yang nyata kepada siswa sehingga siswa dapat melihat gambar yang terbaik, misalnya: kantor pengadilan atau suatu pasar yang basah.
3)    Penggunaan warna.
Pemilihan warna untuk tampilan visual sangat penting sehingga tampilan yang dipilih dapat mengirimkan pesan dengan kepada siswa. Dua pertimbangan dalam memilih warna. Pertimbangan pertama adalah warna yang dipilih dapat memberikan dampak yang selaras dibandingkan dengan yang lain. Pertimbangan kedua adalah warna yang dipilih mempertimbangkan dampak emosi dari warna. Biru, hijau, dan ungu adalah warna lembut, sedangkan merah dan oranye adalah warna hangat.
4)    Penggunaan audio.
Audio adalah salah satu media yang dapat digunakan untuk meningkatkan belajar. Audio dapat digunakan untuk: a) menarik perhatian siswa, b) bahan pelengkap tampilan di dalam screen, c) meminimalkan pesan yang ingin disampaikan di dalam screen, d) mengumumkan beberapa peristiwa, dan e) memotivasi siswa.
Berdasarkan uraian tersebut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam desain multimedia pembelajaran adalah storyboard, desain navigasi, desain grafis yang didalamnya terdapat elemen-elemen seperti: layout, warna, teks, animasi, video, dan audio. Dengan pemilihan yang tepat dalam mendesain pembelajaran berbasis komputer diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan belajar siswa.

g.    Model dan Prosedur Pengembangan Multimedia Pembelajaran
Menurut Arief S. Sadiman (2009: 100) prosedur pengembangan media meliputi enam langkah, yaitu: 1) menganalisis kebutuhan dan karakteristik siswa, 2) merumuskan tujuan instruksional (instructional objective) dengan operasional dan khas, 3) merumuskan butir-butir materi secara terperinci yang mendukung tercapainya tujuan, 4) mengembangkan alat pengukur keberhasilan, 5) penulisan naskah media, 6) mengadakan tes dan revisi.
Philips (1997: 37) menyajikan langkah-langkah pengembangan yang disebut waterfall model (model air terjun). Dalam model ini, untuk mencapai kesempurnaan desain dapat diperbaiki sebelum konstruksi proyek dimulai. Adapun langkah-langkahnya yaitu: 1) analisis kebutuhan dan definisi, 2) mendesain perangkat lunak dan sistem, 3) implementasi dan uji coba, dan 4) uji coba sistem. Modifikasi yang diperlukan dilakukan sejak awal proyek dimulai. Untuk lebih jelasnya model waterfall ini dapat dilihat pada Gambar 12.















Gambar 12
Langkah-langkah pengembangan media pembelajaran berbasis komputer
model waterfall

Menurut Luther (Ariesto Hadi Sutopo, 2003: 32 – 48) terdapat enam tahap sebagai langkah pengembangan multimedia, yaitu concept, design, material collecting, assembly, testing, dan distribution, seperti pada Gambar 13.






















Gambar 13
Tahap pengembangan multimedia Luther (Ariesto Hadi Sutopo, 2003: 32)

Langkah-langkah pengembangan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) concept, yaitu menentukan tujuan, termasuk indentifikasi audiens, macam aplikasi, tujuan aplikasi, dan spesifikasi umum; 2) design, adalah membuat spesifikasi secara rinci mengenai arsitektur proyek, gaya, dan kebutuhan material; 3) material collecting, pada tahap ini dilakukan pengumpulan bahan seperti clipart image, animasi, audio, berikut pembuatan grafik, foto, audio, dan lain-lain; 4) assembly, tahap ini merupakan tahap dimana seluruh proyek dibuat. Pembuatan aplikasi berdasarkan storyboard, flowchart, struktur navigasi, atau diagram objek yang berasal dari tahap desain; 5) testing, tahap ini dilakukan setelah selesai tahap pembuatan dan seluruh data telah dimasukan; 6) distribution, ini merupakan penggandaan dengan menggunakan alat penyimpan. Tahap distribusi juga merupakan tahap dimana evaluasi terhadap suatu produk multimedia.
Menurut Lee & Owens (2004: 162) prinsip dasar pengembangan pembelajaran berbasis komputer tetap sama yaitu: 1) membuat kerangka kerja, 2) mengembangkan elemen-elemen media yang sesuai dengan kerangka kerja, 3) melakukan review dan merevisi produk yang dibuat, 4) mengimplementasikan produk.
Langkah-langkah pengembangan yang telah dikemukakan di atas bukan merupakan langkah baku yang harus diikuti, melainkan setiap pengembang dapat memilih dan menemukan langkah yang paling tepat bagi penelitiannya berdasarkan kondisi yang dihadapi.

h.    Evaluasi Multimedia Pembelajaran
Proses evaluasi digunakan untuk memberikan suatu nilai kepada objek yang dievaluasi sehingga manfaat atau nilai intrinsiknya dapat disampaikan kepada orang lain. Menurut Arief S. Sadiman (2009: 182) ada dua macam evaluasi media, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif adalah proses mengumpulkan tentang efektivitas dan efisiensi bahan-bahan pembelajaran (termasuk media) dan evaluasi sumatif adalah menentukan apakah media yang dibuat dapat digunakan dalam situasi tertentu dan untuk menentukan apakah media tersebut benar-benar efektif.
Arief S. Sadiman (2009:182 – 186) menyatakan ada tiga tahap evaluasi formatif yaitu: 1) evaluasi satu lawan satu (one to one) melibatkan dua siswa atau lebih yang dapat mewakili populasi target dari media yang dibuat. Selain itu dapat juga dicobakan kepada ahli bidang studi (content expert); 2) evaluasi kelompok kecil (small group evaluation). Pada tahap ini media dicobakan kepada 10-20 orang siswa yang dapat mewakili populasi target; 3) evaluasi lapangan (field evaluation) adalah evaluasi tahap akhir, evaluasi ini dilakukan terhadap tiga puluh orang siswa dengan berbagai karakteristik (tingkat kepandaian, kelas, latar belakang, jenis kelamin, usia, kemajuan belajar, dan sebagainya) sesuai dengan karakteristik populasi sasaran.
Menurut Kirkpatrick (Lee & Owens, 2004: 224 – 225) ada empat tingkat evaluasi dalam multimedia pembelajaran, yaitu:
1)    Tingkat pertama (reaksi), menilai respon peserta terhadap aktivitas dalam bentuk kesan tentang relevansi dari aktivitas yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugasnya.
2)    Tingkat kedua (pengetahuan), menilai peningkatan pencapaian materi dan keterampilan yang diinginkan dari aktivitas yang dilakukan.
3)    Tingkat ketiga (performance), menilai perubahan sikap atau tingkah laku sebagai akibat dari pemanfaatan pengetahuan dan keterampilan dari aktivitas yang ditransfer ke dalam pekerjaan dalam periode waktu tertentu.
4)    Tingkat keempat (pengaruh), menilai pengaruh business dalam bentuk pengembalian (return on investment/ROI) dari aktivitas yang dilakukan.
Menurut Philips (1997: 128-146) ”The term ’evaluation’, as applied to IMM and education in general, takes on a different emphasis and covers a much broader range of activities”. Istilah ‘evaluasi’ seperti yang diterapkan di multimedia pembelajaran dan pendidikan secara umum, mengambil sebuah penekanan yang berbeda dan mencakup berbagai kegiatan. Evaluasi multimedia meliputi evaluasi dokumentasi, evaluasi formatif, evaluasi sumatif, evaluasi keefektifan dan implementasi, dan evaluasi dampak jangka panjang. Evaluasi dokumentasi, yaitu evaluasi yang menjawab permasalahan tentang proses dan prosedur yang diikuti selama pengembangan. Pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab dalam evaluasi dokumentasi ini yaitu: 1) Apakah proyek sesuai dengan jadwal? 2) Siapa dan apa yang telah dilakukan selama pengembangan? 3) Apakah perkiraan waktu  tepat? 4) Apakah komunikasi terhadap pengguna mencukupi? 5) Sumber-sumber apa yang masih diperlukan? 6) Apakah proyek berjalan sesuai rencana? 7) Apakah langkah penting selanjutnya? 8) Apakah penyelesaian proyek efektif? 9) Apakah pendekatan pengembangan proyek benar? Apakah kita belajar memperbaiki proses pengembangan?. Evaluasi formatif, ini dilakukan sebelum mencapai produk akhir (final product) multimedia yang dikembangkan. Evaluasi formatif ini untuk melihat: 1) efektifitas navigasi, 2) kesenangan siswa menggunakan produk yang dikembangkan, 3) pendekatan yang digunakan untuk menyampaikan informasi, 4) efektifitas desain layar, 5) multimedia berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Evaluasi sumatif, evaluasi ini dilakukan melalui tinjauan ahli (expert review) tentang hal-hal seperti: 1) ketepatan dan kelengkapan isi, 2) strategi motivasi dan pembelajaran, 3) desain layar, estetika dan kemudahan bagi pengguna secara umum, 4) pendekatan pendidikan yang diadaptasi, 5) keefektifan umum dari pendekatan yang digunakan. Informasi-informasi tersebut dapat dikumpulkan dengan menggunakan alat seperti: kuesioner, lembar tinjauan ahli, panduan wawancara, dan rekaman video. Keefektifan dan implementasi, evaluasi ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang multimedia yang telah dirancang, dikembangkan, dan diimplementasikan. Pertanyaan-pertanyan inti yang hendak dijawab melalui evaluasi ini yaitu: 1) Apakah multimedia yang dikembangkan mencapai tujuan pembelajaran sebagaimana tujuan pengembangan tersebut? 2) Apakah pengetahuan dan keterampilan siswa bertambah? 3) Apakah sikap siswa terhadap materi pelajaran menjadi lebih baik?. Evaluasi dampak, ini merupakan evaluasi dampak jangka panjang. Sejumlah teknik dapat digunakan untuk mengumpulkan data tentang dampak jangka penjang dari materi multimedia pembelajaran, antara lain: 1) catatan anekdot, 2) observasi, 3) wawancara, dan 4) pengukuran/penilaian tidak langsung (indirect measures).






Daftar Pustaka
Alessi, S.M. & Trollip, S.R. (2001). Multimedia for learning, methods and development. Massachutsetts: Allyn and Bacon-A Pearson Education Company.
Arief S. Sadiman, et al. (2009). Media pendidikan: pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Pers
Ariesto Hadi Sutopo. (2003). Multimedia interaktif dengan flash. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Azhar Arsyad. (2009). Media pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Cennamo, K. & Kalk. D. (2005). Real world instructional design. Canada: Wadsworth
Chee, T.S. & Wong. A.F.L. (2003). Teaching and learning with technology. Singapore: Prentice Hall.
Dick, W. & Carey, L. (2005). The systematic design of instruction (6th ed.). Illinois: Scott, Foresman and Company.
Donna Rubinson. (1995). Developing instructional multimedia: A realistic look. Didownload pada tanggal 17 Juli 2010 dari http://www.uic.edu/ depts/accc/newsletter/adn06/realistic.html#1
Gay, L.R. (1981). Educational research: Competencies analysis and application (2nd ed.) Ohio: Merril Publising Co.
Harckbarth, S. (1996). The educational technology handbook. New Jersey: Educational Technology Publications, Inc.
Heinich, R. (et.al). (1996). Instructional media and technologies for learning (5th ed.) Englewood cliffs, N.J:A Simon & Schuster Company.
Ivers, Karen S. & Barron, Ann E. (2002). Multimedia projects in education: Designing, producing, and assessing. Connecticut: Libraries Unlimited
Kingsley, Karla V. & Boone Randall. (2009). Effects of multimedia software on achievement of middle school students in an American history class. Journal of Research on Technology in Education, 41(2), 203-221. Diambil pada tanggal 19 November 2010, dari http://proquest.umi.com/pqdweb
Krajewski, Lee J. & Ritzman, Larry P. (2002). Operation management: Strategy and analysis (6th ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Lee, W.W., & Owens, D.L. (2004). Multimedia base instrucion design: Computer based training, web based training, distance broadcast training, performance based solution (2nd ed.). San Fransisco: Pfeiffer A Wiley Imprint.
M. Suyanto. (2005). Multimedia: Alat untuk meningkatkan keunggulan bersaing. Yogyakarta: Percetakan Andi.
Martin, F. & Klein, J. (2008). Effects of objectives, practice, and review in multimedia instruction. Journal of Educational Multimedia And Hypermedia, 17(2), 171-189. Diambil pada tanggal 15 November 2010, dari http://proquest.umi.com/pqdweb
Mayer, Richard E. (2009). Multimedia learning: Prinsip-prisip dan aplikasi. Penerjemah: Teguh Wahyu utomo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mbarika, V., Bagarukayo, E., Shipps, B. et al. (2010). A Multi-Experimental Study on the Use of Multimedia Instructional Materials to Teach Technical Subjects. Journal of STEM Education, Special Edition, 24-37. Diambil pada tanggal 22 November 2010, dari http://search.ebscohost.com/
Merrill, Paul F., et al. (1996). Computers in eucation (3rd ed.) Englewood Cliffs, NJ: Eucational Technology Publication.
Mitchel, M. (2003). Constructing multimedia: Benefits of student-generated multimedia on learning. Interactive multimedia electronic journal of computer-enhance learning, 3, 1. Diambil pada tanggal 1 Agustus 2010, dari http://imej.wfu.edu/articles/2003/1/03/#2
Mukminan. (2006). Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Nabisi Lapono, dkk. (2008). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Nana Sudjana & Ahmad Rivai. (2009). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Neo, M. & Neo, T.K.(2009). Engaging students in multimedia-mediated contructivist learning-student perception. Educational Technology & Society, 12(2), 254-266. Diambil pada tanggal 22 November 2010, dari http://infotrac.galegroup.com/itweb
Newby, T.J. et al. (2000). Instructional technology for teaching and learning. New Jersey: Prentice-Hall Inc
Ouda Teda Ena. (2006). Membuat materi pembelajaran interaktif dengan piranti lunak presentasi. Diambil pada tanggal 20 Juli 2010 dari http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/Outda Teda Ena.doc.
Phillip, R. (1997). The developer’s handbook to interactive multimedia: A practical guide for educational applications. London: Kogan Page.
Reigeluth, Charles M. (1983). Instructional-design theories and models: An overview of their current status. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Reiser, R.A. & Dick, W. (1996). Instructional planning: a guide for teachers. Massachusetts: Allyn & Bacon Company
Romiszowki, A.J. (1986). Developing auto instructional materials. Great Britain: Kogan Page Ltd.
Schunk, Dale H. (2008). Learning theories: An educational perspective (5th ed). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Schwier, Richard A., & Misanchuk, Earl R. (1993). Interactive multimedia instruction. New Jersey: Educational Technology Publications, Inc.
Seels, Barbara B. & Richey, Rita C. (1994). Teknologi pembelajaran: Definisi dan kawasannya. Penerjemah Dewi S. Prawiradilaga dkk. Jakarta: Kerjasama IPTPI LPTK UNJ.
Smaldino, S.E., Lowther, D.L., & Russell, J.D. (2007). Instructional technology and media for learning (9th  ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Sugiyono. (2009). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sukardjo, (2010). Evaluasi Pembelajaran. Buku Pegangan Kuliah: PPs Universitas Negeri Yogyakarta
Syaiful Sagala. (2010). Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Tsai, R. & Jenks, M. (2009). Teacher-guided interactive multimedia for teaching English in an EFL context. Journal of Educational Multimedia And Hypermedia, 18(1), 91-111. Diambil pada tanggal 19 November 2010, dari http://proquest.umi.com/pqdweb
Vaughan, T. (2006). Multimedia:making it work. Terjemahan Theresia Arie Prabawati & Agnes Heni Triyuliana. McGraw: Hill Company. Inc.
Winarno, dkk. (2009). Tehnik evaluasi multimedia pembelajaran: Panduan lengkap untuk para pendidik dan praktisi pendidikan. Genius Prima Media.
Yusufhadi Miarso. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta: Kencana
Zheng, R., McAlack, M., Wilmes, B. et al. (2009). Effects of multimedia on cognitive load, self-efficacy, and multiple rule-based problem solving. British Journal of Educational Technology, 40(5), 790-803. Diambil pada tanggal 25 November 2010, dari http://search.ebscohost.com/

Tuesday 12 July 2011

Model Model Pembelajaran Inovatif

Makalah ini menyajikan tiga bagian pokok tentang pembelajaran, yaitu (1)

Pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, (2) Model-Model

Pembelajaran, dan (3) Penutup. Model-model pembelajaran tersebut, adalah

model problem solving dan reasoning, model inquiry training, model problembased

instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, model group

investigation.



1. Pembelajaran menurut Paradigma Konstruktivistik

Sebuah paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi

mengalami malfungsi apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah

mengalami perubahan. Paradigma yang mengalami anomali tersebut cenderung

menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut terjadinya revoluasi ilmiah yang

melahirkan paradigma baru dalam rangka mengatasi krisis yang terjadi (Kuhn, 2002).

Paradigma konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigma alternatif yang

muncul sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang cenderung

berlaku pada abad industri ke sistem pembelajaran yang semestinya berlaku pada abad

pengetahuan sekarang ini.

Menurut paradigma konstruktivistik, ilmu pengetahuan bersifat sementara terkait

dengan perkembangan yang dimediasi baik secara sosial maupun kultural, sehingga

cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi

diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit,

wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun

pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab atas peistiwa belajar dan hasil

belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi

pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar

merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal.

Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian,

pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk

memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.

Paradigma konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut

paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah,

mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur

dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih dicirikan

oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan modelmodel

yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Secara umum, terdapat lima prinsip dasar

yang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu (1) meletakkan permasalahan yang relevan

dengan kebutuhan siswa, (2) menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama, (3)

menghargai pandangan siswa, (4) materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan

siswa, (5) menilai pembelajaran secara kontekstual.

Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa,

investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks),

menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran.

Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu

proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru

disajikan dalam laporan atau quis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik,

pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi,

membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.

Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut

paradigma konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai

dengan pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai

berikut.

1. Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.

2. Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada

keterampilan berpikir kritis.

3. Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis, memprediksi,

dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.

4. Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau strategi

pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.

5. Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum

sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.

Makalah I Wayan Santyasa

6. Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya maupun

dengan siswa yang lain.

7. Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut mereka

untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.

8. Mengelaborasi respon awal siswa.

9. Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan

kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.

10. Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan

mengerjakan tugas-tugas.

11. Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model pembelajaran yang

beragam.

1.1 Tujuan dan Hasil Belajar

Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma desain pembelajaran, tidak

terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang

diharapkan.

Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga

fokus belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer belajar, dan (3) bagaimana belajar.

Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk

mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari

oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh

sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai

manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang

dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari

konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa.

Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya

bagaimana membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran

perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan

pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu

nilai utama pendekatan konstruktivstik.

Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat

menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang

dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa meaningful learning harus diyakini memiliki

nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rote learning, dan deep understanding lebih

baik dibandingkan senseless memorization. Konsep belajar bermakna sesungguhnya telah

dikenal sejak munculnya psikologi Gestal dengan salah satu pelopornya Wertheimer

(dalam Mayer, 1999). Sebagai tanda pemahaman mendalam adalah kemampuan

mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru.

Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih

penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian

learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam

hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis

keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar

(Santyasa, 2003).

Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar yang disasar tersebut

tentunya diupayakan pula untuk mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan.

Paradigma tentang hasil belajar yang berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut

hendaknya bergeser dari no learning dan rote learning menuju constructivistic learning.

No learning, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. Siswa tidak

menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Rote learning, hanya

mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa

menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan

masalah-masalah baru. Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori.

Constructivist learning dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa

mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan

model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses

kognitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian

terhadap informasi-informasi yang relevan dengan selecting, mengorganisasi infromasiinformasi

tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses organizing, dan

mengintegrasikan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di

benaknya melalui proses integrating. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik menjamin

siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna.

1.2 Peranan Guru dalam Pembelajaran

Menurut hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al.,

2001), di abad informasi ini terdapat sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh guru

dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki pemahaman yang

baik tentang kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan

dan menganalisis data, memiliki kemampuan membantu pemahaman siswa, memiliki

kemampuan mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama

dengan orang lain. Para guru diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan

pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi

tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan memiliki semua

pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang

mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru

diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan

kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis.

Para guru diharapkan menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan

pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki

keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran

yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.

Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami oleh para guru, maka upaya

mendesain pembelajaran bukan menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang menantang.

Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang meyakinkan bahwa peranan guru

tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan pandangan

konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagai

transmiter pembelajaran. Guru sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung

sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing.

Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan guru dalam

pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator.

Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang

materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah

dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika

siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan

psikomotor siswa.

Sebagai manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan

masalah-masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan

interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas.

Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai

isi, menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan

pengelompokan siswa.

Sebagai mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa

memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah,

memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian,

mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana

mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan

kepada siswa ikut berpikir kritis.

Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah menciptakan dan

memahami sintaks pembelajaran. Penciptaan sintaks pembelajaran yang berlandaskan

pemahaman akan mempermudah implementasi pembelajaran oleh guru lain atau oleh

siswa itu sendiri.

Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang dijabarkan

berdasarkan teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivistik acap kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadi

penting untuk menyempurnakan sintaks yang rekursif, fleksibel, dan dinamis.

1.3 Penggubahan Lingkungan dan Sumber Belajar

Salah satu asas pembelajaran yang harus dipahami adalah “membawa dunia siswa

ke dunia guru dan menghantarkan dunia guru ke dunia siswa”. Tujuannya, adalah untuk

mengenali potensi siswa dan memberdayakan potensi tersebut sehingga melahirkan

pencerahan bagi siswa itu sendiri. Alternatif upaya pemberdayaan tersebut dapat dilakukan

dengan penggubahan lingkungan dan sumber belajar.

Termasuk lingkungan belajar adalah sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan

media masa. Termasuk sumber belajar adalah guru, orang tua, teman dewasa, teman

sebaya, bahan, alat, dan lingkungan itu sendiri. Sumber belajar ada yang dirancang khusus

untuk pembelajaran (by design) dan ada pula yang bukan dirancang khusus untuk

pembelajaran, tetapi dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran (by utilization).

Oleh karena pembelajaran merupakan kegiatan rekayasa supaya terjadi peristiwa

belajar, maka penggubahan lingkungan dan sumber belajar di sini adalah terkait dengan

upaya guru memfasilitasi siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sumber belajar

tersebut. Upaya ini dilakukan baik pembelajaran harus terjadi di dalam kelas atau di luar

kelas. Jika pembelajaran terjadi di kelas, sifat-sifat kelas yang cenderung multidimensi,

keserentakan, kesegeraan, memunculkan kejadian yang tak dapat diramalkan harus

dipahami oleh guru agar terjadi interaksi yang efektif dalam proses pembelajaran.

2. Model Pembelajaran

Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-step

procedure that leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan

model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam

melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka

konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung

preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional

strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a

learning objective (Burden & Byrd, 1999:85).

Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model

pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu

langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma

yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana

seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system,

segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5)

instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan

tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant

effects).

Berikut diberikan lima contoh model pembelajaran yang memiliki kecenderungan

berlandaskan paradigma konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving,

model inquiry training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan

konseptual, dan model group investigation.

2.1 Model Reasoning and Problem Solving

Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah

gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan

tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik &

Rudnick, 1996). Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem

solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan

reasoning and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa

ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia

nyata.

Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil

(retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Termasuk

basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical

thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada

masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis

informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya,

menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan

analisis dan refleksi. Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan

produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.

Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang

mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem

solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan

pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka

memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi

aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban

telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat

diwujudkan melalui kemampuan reasoning.

Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah

pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir

(mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting

pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi,

melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menseleksi

strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi,

deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan

keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi

jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi,

mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter

pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi

masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.

Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,

konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut

ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah.

Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang

mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan

strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang

siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving.

Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan

berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi,

keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak

pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan

kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

2.2 Model Inquiry Training

Untuk model ini, terdapat tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif,

manusia memiliki sifat ingin tahu yang alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality

secara mandiri. Prinsip pertama menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan,

prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga—

kemandirian, akan bermuara pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.

Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980),

yaitu: (1) menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi

yang saling bertentangan), (2) menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi

yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah), (3) mengkaji data dan eksperimentasi

(mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis), (4) mengorganisasikan,

merumuskan, dan menjelaskan, dan (5) menganalisis proses penelitian untuk memperoleh

prosedur yang lebih efektif.

Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual, dan

kesamaan derajat. Dalam proses kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan digalakkan.

Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka terhadap berbagai ide yang relevan.

Partisipasi guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma persamaan derajat

dalam mengakomodasikan segala ide yang berkembang.

Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan pertanyaan

yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki

pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan tentang

teori yang digunakan, menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan

dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa.

Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang

mampu membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang

menantang siswa untuk melakukan penelitian.

Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan

semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan,

keterampilan proses keilmuan, otonomi siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan

masalah-masalah non rutin.

2.3 Model Problem-Based Instruction

Problem-based instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham

konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan

masalah otentik (Arends et al., 2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan

pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka

masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan

menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan

masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.

Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et

al., 2001), yaitu: (1) guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang

berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu,

dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa), (2)

guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu

diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang

variatif, melakukan surve dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna

terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka

memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah,

laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas

melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota

masyarakat).

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa

dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter

pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing

dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses

pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan

ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan

demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah

dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan

dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah

kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated

learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi

keragaman siswa.

2.4 Model Pembelajaran Perubahan Konseptual

Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari

pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan.

Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya

bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik

kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya

semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) merubah

pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.

Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar

terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi

konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993).

Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi

dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan

konseptual (Hynd, et al,. 1994). Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas

individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain

melalui peer mediated instruction. Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not

just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared

knowledge.

Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran

(Santyasa, 2004), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi

miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut

strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi

pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh

kontekstual, (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan

penerapan pengetahuan secara bermakna.

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman

belajar siswa, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang

efektif, latihan menjalani learning to be.

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai fasilitator,

negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau tertulis

melalui pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan

memberi peluang kepada siswa memangil pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan

konstruksi bertujuan memfasilitasi, menegosiasi, dan mengkonfrontasi siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuan baru.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan

ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan demonstrasi atau

eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau

ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar,

pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak

pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan

paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .

2.5 Model Group Investigation

Ide model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis

terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau

teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and Education

(Arends, 1998). Dalam buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas

seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk

belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob,

et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya

didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4)

kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan

harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati

satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya

berhubungan dengan dunia nyata.

Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation

yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas

hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah

sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam langkah

pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok,

menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan), (2) planning

(menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa

tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi,

mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi), (4) organizing (anggota

kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji,

moderator, dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain

mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan

(6) evaluating (masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing

berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran

yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian

pemahaman.

Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru

dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh

kesepakatan.

Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,

konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses

pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait

dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat

dan fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi

yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh informasi tersebut.

Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok

dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan

ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai,

meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang

pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman

yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM

dan komitmen dalam bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial,

interpersonal, dan intrapersonal.

3 Kesimpulan

Perencanaan pembelajaran sangat penting untuk membantu guru dan siswa dalam

mengkreasi, menata, dan mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan peristiwa

belajar terjadi dalam rangka mencapai tujuan belajar.

Model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara

efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah model pembelajaran yang memiliki

landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak

pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar

yang disasar.

Model pembelajaran yang dapat diterapkan pada bidang studi hendaknya dikemas

koheren dengan hakikat pendidikan bidang studi tersebut. Namun, secara filosofis tujuan

pembelajaran adalah untuk memfasilitasi siswa dalam penumbuhan dan pengembangan

kesadaran belajar, sehingga mampu melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam

memecahkan masalah kehidupan di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat

mengakomodasikan tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma

konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.

Model problem solving and reasoning, model inquiry training, model problembased

instruction, model conceptual change instruction, model group investigation, dan

masih banyak lagi model-model yang lain yang berlandaskan paradigma konstruktivistik,

adalah model-model pembelajaran alternatif yang sesuai dengan hakikat pembelajaran

humanis populis.

DAFTAR RUJUKAN

Ardhana, W. 2000. Reformasi pembelajaran menghadapi abad pengetahuan. Makalah.

Disajikan dalam Seminar dan Diskusi Panel Nasional Teknologi Pembelajaran V,

tanggal 7 Oktober 2000, di UM.

Arends, R. I. 1998. Learning to teach. Singapore: Mc Graw-Hill book Company.

Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring teaching: An

introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.

Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for

constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum

Development.

Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston:

Allyn and Bacon.

Costa, A. L.1991. The school as a home for the mind. Palatine, Illinois: Skylight Training

and Publishing, Inc.

Gardner, H. 1999. Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21th century. New

York: Basic Books.

Griffin, P., & Nix, P. 1991. Educational assessment and reporting: A new approach.

Sydney: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.

Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach.

Boston: Allyn and Bacon.

Hynd, C.R., Whorter, J.Y.V., Phares, V.L., & Suttles, C.W. 1994. The rule of instructional

variables in conceptual change in high school physics topics. Journal of Research

In Science Teaching. 31(9). Pp.933-946.

Jacobs, G.M., Lee, G.S, & Ball, J. 1996. Learning Cooperative Learning via Cooperative

Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Edu-cation on Cooperative

Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Center.

Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Kuhn, T. S. 2002. The structure of scientific revolution. Diterjemahkan oleh: Tjun

Surjaman. Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya.

Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996. The new sourcebook for teacing reasoning and problem

solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.

Mayer, R. E. 1999. Designing instruction for constructivist learning. Dalam Reigeluth, C.

M. (Ed.): Instructional-design theories and models: A new paradigm of

instructional theory, volume II. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,

Publisher.

O’Malley, J. M., & Pierce, L. V. 1996. Authentic assessment for english language

learners: Practical approaches for teachers. New York: Addison-Wesley

Publishing Company.

Perkins, D. N., & Unger, C. 1999. Teaching and learning for understanding. Dalam

Reigeluth, C. M. (Ed.): Instructioal-design theories and models: A new paradigm

of instruction theory, Volume II. New Jersey: Lawrence Erlboum Associates,

Publisher.

Puskur. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan hasil belajar mata pelajaran

matematika. Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas.

Reigeluth, C. M. 1999. What is instructional-design theory and how is it changing? Dalam:

Reigeluth, C. M. (Ed.). Instructional-design theories and models: A new paradigm

of instructional theory, volume II. 5-29. New Jersey: Lawrence Erlbaum

Associates, Publisher.

Simon, H. A. 1996. The science of the artificial. Third edition. London: The MIT Press.

Santyasa, I W. 2003. Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi.

Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri

Singaraja, 27 Februari 2003, di Singaraja.

Santyasa, I W. 2003. Pembelajaran fisika berbasis keterampilan berpikir sebagai alternatif

implementasi KBK. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi

Pembelajaran, 22-23 Agustus 2003, Di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.

Santyasa, I W. 2004. Pengaruh model dan seting pembelajaran terhadap remediasi

miskonsepsi, pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika pada siswa SMU.

Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program

Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon.
 
I Kadek Suartama: Official Blog. Design by Wpthemedesigner. Converted To Blogger Template By Anshul Tested by Blogger Templates.